Bolehkah demikian, makmum di luar masjid, bahkan mungkin di rumahnya sendiri yang dekat masjid, lantas mengikuti imam yang berada di dalam masjid? Orang tersebut mendengar suara imam lewat pengeras suara, kadang shaf shalatnya bersambung, ada juga yang tidak.
Misalnya saja seorang wanita yang berada di rumah mendengar suara imam yang berada di masjid lewat pengeras suara, apakah seperti itu dibolehkan wanita itu mengikuti imam ataukah tidak?
Bahasan Ulama Syafi’iyah
Ulama masa silam juga sudah mengulas hal ini semacam Al Qodhi Abu Syuja’ dengan memberikan rincian.
- Jika makmum shalat di dalam masjid dalam keadaan tahu shalatnya imam, maka shalatnya sah selama tidak mendahului posisi shaf imam.
- Jika imam shalat di dalam masjid dan makmum di luar masjid namun masih dekat, maka dibolehkan selama ia mengetahui shalatnya imam dan tidak ada pembatas di sana. (Mukhtashor Abi Syuja’, hal. 73).
Mengetahui shalat imam bisa jadi dengan mendengar suaranya, melihatnya, atau mendengar melalui pengeras suara, atau melihat sebagian shaf. Penulis Fathul Qorib katakan bahwa dengan melihat imam atau melihat sebagian shaf.
Jika imam di dalam masjid sedangkan makmum di luar masjid, maka jarak makmum tersebut adalah 300 hasta (jika 1 hasta diperkirakan 45 cm, maka 300 hasta mendekati 135 meter) dihitung dari bagian belakang masjid. Inilah yang dimaksud masih dekat. Sedangkan jika imam dan makmum sama-sama di dalam masjid, maka tidak memakai patokan jarak tersebut. Jika imam dan makmum sama-sama di luar masjid, maka memakai patokan 300 hasta tadi dan ditambahkan tidak ada sesuatu yang menghalangi antara imam dan makmum. Lihat Fathul Qorib, 1: 160-161.
Bahasan Syaikh Kholid Al Musyaiqih
Selanjutnya, kami mengangkat bahasan dari ulasan Syaikh Kholid Al Musyaiqih rahimahullah, seorang pengajar dan guru besar di bidang fikih di kuliah Syari’ah, Universitas Al Qosim, KSA yang beliau ulas dalam buku Fiqh An Nawazil fil ‘Ibadat.
Pembahasan ini dibagi menjadi dua:
1- Jika rumah di dekat masjid itu bersambung dengan masjid dan di antara keduanya ada pintu yang menghubungkan.
Untuk hal ini, jumhur atau mayoritas ulama mengatakan sah mengikuti imam dan shalatnya sah dan tidak dipersyaratkan ru’yah (melihat) imam, cukup dengan mendengar suaranya saja.
Namun ulama Hambali menyaratkan imam bisa dilihat atau melihat sebagian makmum walaupun hanya pada sebagian shalat.
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, seperti itu boleh namun tidak disyaratkan melihat imam.
Dalilnya, Asma’ binti Abi Bakr pernah mengatakan,
أَتَيْتُ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِىَ قَائِمَةٌ تُصَلِّى
“Aku pernah mendatangi ‘Aisyah -istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ketika terjadi gerhana matahari, para sahabat melaksanakan shalat, dan ‘Aisyah pun demikian.” (HR. Bukhari no. 184). ‘Aisyah ketika itu melaksanakan shalat di rumahnya mengikuti shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam Mushonnaf ‘Abdurrozaq disebutkan pula bahwa ‘Aisyah biasa shalat di rumahnya dengan mengikuti shalat imam. Karena rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdampingan langsung dengan masjid dan ada pintu yang memang langsung menuju masjid. (HR. Mushonnaf ‘Abdurrozaq Bab “Shalat Seseorang di Belakang Imam di Luar Masjid” no. 4883).
2- Jika rumah tidak bersambung langsung dengan masjid.
Mengenai masalah ini ada tiga pendapat.
– Pendapat pertama, berpendapat bahwa shalatnya sah selama bisa mengikuti imam baik melalui pengeras suara atau melihat imam. Inilah pendapat ulama Malikiyah.
– Pendapat kedua, berpendapat bahwa disyaratkan di samping bisa mengikuti imam, juga shaf shalat mesti bersambung. Inilah pendapat Ibnu Qudamah. Ini juga pendapat Hanafiyah. Namun di kalangan Hanafiyah berbeda pendapat jika antara shaf terpisah jarak sejarak dua shaf atau dalam masalah shalat jenazah atau shalat ‘ied. Sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkan jika jaraknya masih terpisah sejauh 300 dziro’ (hasta). Jika lebih dari itu, tidak dibolehkan.
– Pendapat ketiga, berpendapat bahwa tidak disyaratkan bersambungnya shaf, akan tetapi ada dua syarat yang mesti dipenuhi: (1) mesti bisa melihat imam atau sebagaian makmum meski dalam sebagian shalat, (2) mendengar melalui pengeras suara. Inilah pendapat dalam madzhab Hambali.
Pendapat terkuat dalam masalah ini, jika shaf shalat bersambung, maka sah. Jika tidak bersambung, maka tidaklah sah. Maka disyaratkan untuk memungkinan imam bisa diikuti adalah bersambungnya shaf.
Dalil dari benarnya pendapat ini adalah hadits,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ فِى حُجْرَتِهِ ، وَجِدَارُ الْحُجْرَةِ قَصِيرٌ ، فَرَأَى النَّاسُ شَخْصَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَامَ أُنَاسٌ يُصَلُّونَ بِصَلاَتِهِ ، فَأَصْبَحُوا فَتَحَدَّثُوا بِذَلِكَ ، فَقَامَ لَيْلَةَ الثَّانِيَةِ ، فَقَامَ مَعَهُ أُنَاسٌ يُصَلُّونَ بِصَلاَتِهِ ، صَنَعُوا ذَلِكَ لَيْلَتَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةً ، حَتَّى إِذَا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ يَخْرُجْ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ ذَكَرَ ذَلِكَ النَّاسُ فَقَالَ « إِنِّى خَشِيتُ أَنْ تُكْتَبَ عَلَيْكُمْ صَلاَةُ اللَّيْلِ »
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di rumahnya, tepatnya di kamarnya dan kala itu dinding kamar itu pendek. Maka ada orang yang melihat sosok Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beberapa orang lalu mengikuti shalat beliau. Ketika di pagi hari, mereka pun berbincang-bincang tentang hal itu. Di hari kedua, beliau juga melakukan shalat malam dan orang-orang mengikutinya. Beliau melakukan seperti itu dua atau tiga malam. Hingga beliau duduk dan tidak keluar pada malam selanjutnya. Ketika pagi hari, mereka membicarakan tidak keluarnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku khawatir shalat malam tersebut kalian anggap wajib, sehingga aku tidak keluar.” (HR. Bukhari no. 729).
Hadits di atas menunjukkan bahwa mereka shalat di ruangan berbeda dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dianggap sah. Namun jikalau tidak bersambung shafnya, tidaklah sah. Wallahu Ta’ala a’lam.
Semoga Allah memberikan ilmu yang bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Referensi:
Fiqh An Nawazil fil ‘Ibadah, Syaikh Prof. Dr. Kholif Al Musyaiqih (murid Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin), terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan pertama, tahun 1433 H, hal. 109-112.
Mukhtashor Abi Syuja’ (Matan Al Ghoyah At Taqrib atau Ghoyatul Ikhtishor), Al Imam Al ‘Allamah Ahmad bin Al Husain Al Ashfahani Asy Syafi’i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.
Fathul Qorib (Hasyiyah Al Qoulul Mukhtar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor), Muhammad bin Qosim Al Ghozzi, terbitan Maktabah Al Ma’arif, cetakan pertama, tahun 1432 H.
At Tadzhib Matan Al Ghoyah wat Taqrib, Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, terbitan Darul Musthofa, cetakan ke-11, tahun 1428 H.
—
Selesai disusun di pagi hari penuh berkah, Rabu, 12 Dzulqo’dah 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang-Gunungkidul
Artikel www.rumaysho.com